Kain Pemersatu dari Pupuk Kaltim

BONTANG, KALTIMOKE — Tenun “Kain Pemersatu” tak sekadar ikon bagi Kurniati (40), mitra binaan Pupuk Kaltim yang dikenal melalui songket Makcik di Pontianak, Kalimantan Barat. Kisah haru dan sedih bercampur di balik nama yang mengantarkannya meraih sukses hingga kini.

Bermula pada 1999, Kurniati dan keluarga terpaksa mengungsi dari kampung halamannya di Kabupaten Sambas ke Kota Pontianak, karena menjadi salah satu korban kerusuhan antar etnis yang kala itu terjadi. Tanpa bekal yang cukup, dia bersama keluarga nekat meninggalkan tanah kelahirannya demi alasan keamanan, hingga berlabuh di Kelurahan Batu Layang, Kecamatan Pontianak Utara. Desa kecil itulah saksi perjuangan Kurniati bersama suami, dalam merintis usaha tenun songket yang hingga kini dijalani dengan tekun. “Setelah mengungsi, kami tidak tahu cara dapat uang untuk menyambung hidup, karena tidak ada keterampilan. Untung pernah belajar tenun, itu yang akhirnya saya coba,” kenang Kurniati, saat ditemui pada pameran Crafina 2018 di Jakarta beberapa waktu lalu.

Awal perjuangan untuk kain tenun pertama pun tak semulus yang dibayangkan. Sisa uang Rp60.000 di dompet jadi pertimbangan, membeli makan atau alat tenun sederhana. Walau akhirnya Kurniati memilih puasa dan berhutang benang pada tetangga, demi kain tenun yang menjadi cikal bakal usahanya. Dari songket pertama itulah Kurniati mulai merangkak menjalani usaha tenun. Hasil yang dia dapat kembali diputar sebagai modal, untuk memenuhi beberapa permintaan yang datang. Apalagi songketnya terbilang bagus dan di atas rata-rata dari hasil kerajinan serupa. “Saya ingat itu Desember 1999, saya hanya ada satu alat saja. Hasil tenun itu yang saya jual satu persatu dan putar terus,” ucap Kurniati.

Ketekunan wanita kelahiran Sambas 12 Agustus 1978 itu perlahan menarik perhatian warga Kelurahan Batu Layang. Beberapa Ibu Rumah Tangga (IRT) yang tak memiliki pekerjaan dan keterampilan, mulai belajar menenun dengan Kurniati di rumah kecilnya. Setiap hari, makin banyak para ibu yang datang. Pada 2005, ibu tiga anak ini membentuk kelompok tenun bersama warga sekitar dan mengajukan permodalan ke Pemerintah Daerah melalui Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Pedesaan (PNPM) Mandiri. Namun karena keterbatasan pengetahuan dan kemampuan manajerial, usaha itu pun masih terseok dan tidak menampakkan hasil signifikan.

Kurniati berpantang mundur, dia tetap menjalani usaha tenunnya meski tetap merangkak dengan jumlah terbatas. Alasan dia, tidak ada sumber penghasilan selain menenun. “Pada 2010 baru saya tahu ada program dari PKBL Pupuk Kaltim (sekarang Departemen CSR). Waktu itu ada mitra binaan di Pontianak yang ajukan modal dan saya numpang dari modal itu, karena tidak ada jaminan,” terang dia.

Dua periode Kurniati menumpang pinjaman modal dari mitra binaan Pupuk Kaltim. Masing-masing Rp1 Juta dan Rp5 Juta. Dia membantu pelunasan pinjaman yang diajukan selama periode tersebut, hingga bisa memiliki sebidang tanah untuk dijadikan jaminan. “Setelah ada jaminan baru saya ajukan modal juga ke Departemen CSR. Alhamdulillah seminggu saja prosesnya, saya dapat pinjaman Rp35 Juta pada 2013,” lanjut Kurniati.

Pada tahun itu, Kurniati tercatat sebagai salah satu Mitra Binaan Pupuk Kaltim di Kalimantan Barat. Sejak itu pula, usaha tenunnya semakin menanjak berkat pembinaan berkesinambungan Pupuk Kaltim. Pembinaan paling berkesan dia terima berupa ragam pelatihan yang dibutuhkan dalam pengembangan usaha, diantaranya pelatihan pembukuan, motivasi usaha, packaging, hingga pemasaran online dan promosi di berbagai ekspo. “Sangat beda pembinaan dari Pupuk Kaltim, saya merasakan itu. Kita tidak hanya dikasih modal, tapi juga pelatihan dan promosi. Itu memang kita butuhkan,” tandasnya.

Perlahan namun pasti, hasil tenun Kurniati mulai dikenal khalayak berkat promosi yang difasilitasi Pupuk Kaltim. Pengelolaan usaha juga berjalan baik, dari bekal pelatihan yang dia terima. Tak jarang tim CSR Pupuk Kaltim pun datang dan memantau perkembangan usahanya. Selesai periode pertama, permintaan songket Makcik rintisan Kurniati makin meningkat. Dia kembali mengajukan permodalan Rp50 Juta di periode kedua pada 2015. Perkembangan itu pula yang kembali menarik minat warga sekitar untuk giat belajar tenun bersama Kurniati, bahkan pelajar dari berbagai Sekolah Menengah pun datang ke kediamannya. “Saya tidak bisa membalas besarnya jasa Pupuk Kaltim bagi keluarga saya selama ini. Hanya keterampilan tenun yang bisa saya tularkan ke masyarakat, sebagai bentuk terima kasih atas bantuan Pupuk Kaltim, agar masyarakat juga punya peluang usaha,” tutur dia.

Kini rumah Kurniati di Gang Sambas Jaya Batu Layang tak pernah sepi. Setiap hari ada saja warga yang ingin belajar tenun. Bahkan sebagian besar diantaranya telah mulai membuka usaha secara mandiri dari bekal yang diajarkan Kurniati. “Kita sudah dibantu, maka juga wajib bantu orang. Mungkin ini cara Tuhan meningkatkan derajat kami melalui kehadiran Pupuk Kaltim. Hingga saya bisa memberi manfaat bagi warga Desa,” tambah Kurniati.

Enam tahun dibina Pupuk Kaltim, Kurniati tak hanya memproduksi songket. Dia mengembangkan jenis usahanya dengan produk kopiah, Tanjak (topi khas melayu), bantal motif melayu, hingga tas berbahan kain tenun. Selain suami, dia juga dibantu enam karyawan dengan satu workshop. Bahkan dia juga memfasilitasi IRT sekitar yang tak memiliki modal, dengan menyediakan alat serta bahan tenun. “Hasil tenun mereka saya bantu jual, uangnya untuk cicilan alat dan bahan yang dipakai. Jadi walau tidak punya modal, IRT bisa memproduksi songket dengan cara ini,” kata Kurniati.

Metode pemberdayaan masyarakat yang dilakukan Kurniati pun berbuah manis. Kelurahan Batu Layang ditetapkan Pemerintah Kota Pontianak sebagai Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa. Puluhan IRT setempat kini memiliki keterampilan serta penghasilan dari usaha menenun, baik usaha dengan modal sendiri maupun penitipan hasil produksi melalui Kurniati.

Kawasan pemasaran songket tenun Kurniati pun tak hanya merambah pasar lokal dan nasional, namun juga dilirik konsumen dari berbagai Negara, diantaranya Malaysia, Jerman, Turki, Mesir dan India, yang kerap datang ke kampung tenun dengan pesanan yang terbilang tinggi. “Kalau bicara omzet tidak menentu, karena tergantung permintaan dan momen. Tapi minimal satu bulan sekitar Rp20 Juta sampai Rp60 Juta, ditambah seberapa banyak yang titip penjualan sama saya,” terang Kurniati.

Awal 2018, perkembangan Kampung Tenun Khatulistiwa juga menarik perhatian Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Republik Indonesia dan melakukan observasi karena melihat tingginya produktifitas IRT di Kelurahan Batu Layang dalam menopang ekonomi keluarga. Potensi perkembangan tenun pun kian terbuka, setelah Pemerintah Kota Pontianak mewajibkan pegawai dan perangkat daerah menggunakan pakaian khas Melayu sebagai pakaian dinas di hari tertentu. Hal ini membuka peluang bagi Kurniati dan seluruh warga Kampung Tenun Khatulistiwa untuk terus mengembangkan usaha.

Bahkan anak putus sekolah serta para tetangga yang belum memiliki pekerjaan tetap, terus dibina Kurniati untuk meningkatkan kemampuan tenun. “Saya selalu buka pintu rumah, yang mau belajar silakan. Siapa tahu ilmu saya mendatangkan rejeki lebih bagi mereka,” tukas dia. Filosofi itulah mendasari “Kain Pemersatu” yang digaungkan Kurniati. Dia yang bukan siapa-siapa di Kelurahan Batu Layang, kini memiliki banyak saudara dan kerabat, meski tersingkir dari tanah kelahiran sendiri.

Semua itu diakuinya berkat Pupuk Kaltim, hingga bisa mengembangkan kemampuan dan menularkan ilmu kepada warga sekitar, dengan kualitas produk yang diakui Pemerintah serta konsumen dari berbagai daerah dan negara. “Sampai kapanpun, peran Pupuk Kaltim tidak akan hilang dari sejarah usaha songket saya. Itu juga yang saya tekankan kepada penerus nantinya,” pungkas Kurniati. (*/vo/nav)




Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *